Pergi untuk kembali
Awan yang begitu bersahabat, membuat pagi datang dengan begitu cerahnya. Aku
duduk di taman yang berada di sekitar kompleksku sambil menatap langit yang
tidak pernah membuatku bosan. Tiba-tiba Reva datang membuat lamunanku buyar. Awalnya
kami hanya diam sambil bersama-sama menatap langit, lama-kelamaan aku mulai
berbincang-bincang dengan Tasya.
“Reva, kamu tau gak Rino mau pindah?” pertanyaan Tasya spontan membuatku
kaget.
“Nggak lucu tau bercandamu,” kataku.
“Serius , dia mau pindah ke Lampung. Aku aja baru tau dari Rendi tadi. Katanya
lusa dia berangkat,” Tasya mencoba meyakinkanku.
‘Kok dia nggak cerita sama aku yah?’ Tanyaku pada diri sendiri.
“Thanks ya Sya infonya, aku mau ke rumah Rino dulu.” Aku kemudian bergegas
pergi dengan mengayuh kencang sepedaku ke salah satu sudut di kompleks perumahan itu.
Tujuanku cuman satu, menanyakan kebenaran kepada Rino.
Aku dan Rino sudah kenal dekat sejak kecil. Kemanapun kami selalu bersama.
Bisa dibilang kami tak bisa terpisahkan. Dimana ada Rino di situ juga ada aku,
begitu pun sebaliknya. Rino selalu melindungiku, dimana pun aku berada. Rino tidak
ingin anak kompleks melukaiku. Bahkan orang tuaku dan orang tua Rino sangat
senang dengan keakraban kami. Setelah ada Rino, ibuku selalu menganggap bahwa
dia adalah bagian dari keluarga kami, sebagai kakakku tentunya.
“Rinoo,” panggilku.
Aku langsung masuk ke rumah Rino tanpa permisi. Yaa, ini sudah seperti
rumah keduaku. Orang tua Rino juga sudah kuanggap seperti orang tuaku sendiri.
“Kenapa Reva?” kudengar suara dari belakang rumahnya. Kualihkan tujuanku
ke taman di belakang rumah Rino.
“Rino, apa yang kamu sembunyiin dari ku?” tanpa basa-basi aku langsung
bertanya padanya.
“Sembunyiin apa sih Reva? Aku nggak sembunyiin apa-apa,” terlihat ekspresi
Rino mulai berubah.
“Kamu mau pindah kan? Iya kan? Kenapa kamu nggak mau ngomong ke aku sih Rino?”
“Maaf Reva,”. Perlahan mataku sudah mulai memerah, dan perlahan air mataku
sudah mulai berjatuhan dan mengaliri wajahku.
Rino berjalan menghampiriku dan duduk di sampingku. Rino mengusap air mata
yang mengalir di pelupuk mataku. Aku tak ingin melihat Rino sedih. Lalu aku
langsung berhenti menangis dan tak ingin
melukai perasaannya.
“Maaf, aku gak bermaksud membuatmu menangis, aku tak ingin membuatmu sedih
Reva. Aku nggak bermaksud bohongin kamu, aku cuman takut aku nggak bisa
ninggalin kamu.”
“Tapi Rino. Aku bakal jauh lebih sedih kalau disaat terakhir sahabat di
samping aku, aku tidak mengetahuinya.”
Terlihat awan mendung mulai menyelimuti langit. Titik demi titik air mulai
berjatuhan membasahi bumi. Semakin deras. Aku tak ingin masuk kedalam rumah,
walau hujan mulai mengguyur taman di rumah Rino.
“Ujan Reva, masuk yuk, ujar Rino.”
“Nggak mau ah Rino, udah lama kita nggak ujan-ujanan. Aku pengen ngelewatin
hujan ini bareng kamu. Belum tentukan kita bisa bareng kayak gini lagi?”
“Ya udah aku temenin.”
Kami mulai berlari menerjang hujan. Bermain-main bersama percikan hujan.
Aku dan Rino begitu senang dan tertawa
tanpa beban, ‘Yaa, kita sama-sama menyukai hujan. Mencintai setiap butir yang
terlahir dari awan mendung.
***
Pukul 07.00 aku telah duduk didepan rumah Rino. Tidak lama kemudian, Rino
pun keluar dari rumahnya dan ikut duduk disampingku. Hari ini saatnya aku dan
dia berpisah. Aku tak ingin melewatkan waktu berharga dengan sahabatku.
Aku ingin mengajak Rino pergi ke sebuah taman yang berada di sekitar
kompleks, yang tak jauh dari rumahnya.
“Okee, ayo kita pergi,” Aku berlari
meninggalkan Rino.
Rino pun tak ingin kalah denganku, lalu ia menyusulku berlari.
Setelah tiba di taman aku dan Rino duduk di atas bangku taman. Kita
sama-sama terdiam. Masih dengan lamunan masing-masing. Lalu kami mulai
bercerita tentang masa lalu kami yang sangat indah untuk dikenang.
Aku terdiam. Tanpa sadar butiran halus muncul perlahan di pelupuk mataku.
“Kamu nggak apa-apa kan Reva?” Tanya Rino.
“Rino, tetep inget aku yaa,” ucapku.
“Pasti lah. Aku bakal tetep inget sama kamu, sahabat sejatiku,”
Rino memberikanku kotak mungil yang sejak tadi digenggamnya.
“Nih, aku punya kenang-kenangan buat kamu, agar kamu selalu inget sama
aku, ujar Rino.”
“Gelang??” tanya aku heran, setelah membuka hadiah dari Rino.
“Iya, ini sepasang. Pasangannya ada di aku. Biar kita yakin kalo suatu
saat nanti kita bakal ketemu lagi. Aku pakein ya?” ucap Rino. Reva mengangguk.
“Aku akan selalu merindukanmu Rino,” Reva menunduk sedih.
“Aku juga Reva. Jaga diri baik-baik yah Reva.”
Hari sudah mulai sudah menunjukan pukul 10.00, akan tetapi suasana masih
seperti pagi. Awan mendung
menyelimuti langit, sama seperti hatiku yang kian mendung.
Air mata langit telah turun, aku dan Rino pun segera pulang menerjang
derasnya hujan. Aku takut orangtua Rino mencemaskan kami berdua.
Diiringi dengan hujan, perpisahan pun telah terjadi. Rino telah pergi
meninggalkan aku dan semua tentang kita.
“Aku pasti akan kembali lagii, tungguin aku yah..” teriak Rino dari dalam
mobil yang sudah melaju jauh. Aku hanya tersenyum. Raganya kini tak lagi
bersamaku. Aku dan dia kini telah terpisah.
Langit pun masih ikut bersedih akan kepergian Rino, sehingga awan hitam
masih terus muncul membuat sang matahari tak menampakkan sinarnya. Aku masih
duduk melamun di halaman rumahku. Membiarkan hujan mengguyur ragaku.
“Reva ayo masuk, mau sampai kapan kamu di sini?” Suara di belakang
mengagetkanku.
“Mah, Reva nggak bisa pisah dari Rino.”
“Udah nak, kalo Tuhan menakdirkan kalian bertemu, kalian pasti bertemu
lagi. Ayo masuk, kamu udah basah kuyup tuh.”
“Iya mah”.
Aku langsung masuk kedalam rumah setelah mamah memanggilku. Aku langsung
membereskan diri dan pergi ke kamar untuk menghubungi Rino. Kuraih handphone
yang berada di atas pembaringanku.
“Kamu dah nyampe Rino??”
Sent! Sms balasan segera masuk, pendek dan singkat.
“Udah.”
“Semoga kamu baik-baik disana.”
Sent! Sms balasanpun segera masuk. Akupun segera meraih handphoneku dan
membacanya.
“Kamu juga ya, Reva.”
***
Setahun sudah kepergian Rino, rasanya telah sama sekali aku tidak
mejumpainya, walaupun aku sering berkomunikasi dengannya, tapi aku masih terus
memikirkannya.
Kubuka laptop yang berada di tempat tidurku dan kubuka foto-fotoku ketika
aku bersama Rino. Dan kubuka Microsoft word untuk mengungkapkan semua yang
berada dihatiku.
Entah kenapa engkau
selalu berada dalam pikiranku
Hati ini gelisah saat
memikirkanmu
Aku tak bisa terus
berada dalam keadaan seperti ini
Aku tak bisa memendam
kerinduanku
Aku tak bisa
memungkiri semua perasaan ini
Engkau adalah bintang yang
menerangi jiwa ini
Namun bintang itu
jauh, jauh sekali
Tak bisa diraih, tak
terjangkau oleh jarak
Kini, bintang itu
menghilang
Tak dapat rasanya mata
ini menangkap sinarnya
Tapi walaupun engkau
jauh entah dimana
Tapi engkau selalu ada
Dalam hati yang
terdalam
***
3 tahun berlalu. Kini aku sedang
mengejar pendidikan di university. Aku telah tumbuh menjadi seorang gadis yang
mandiri. Tapi aku tidak terlalu sama seperti teman-temanku yang selalu tampil
dengan gaya dan tren masa kini, aku tetap nyaman dengan apa yang ada pada diriku.
Halaman kampus telah ramai
dipenuhi oleh para mahasiswa dan mahasiswi yang berlalu lalang dan sedang asyik
berbincang-bincang. Aku mencari Tasya, teman sekompleksku. Setelah menemukannya,
aku segera menghampiri Tasya yang sedang duduk sendirian.
“Pagi Sya..”
“Sendirian aja, Ucapku.”
“Kemana aja kamu? Jam segini baru
dateng, Ujar Tasya.”
“Tadi jalananya macet, makannya
aku telat.”
“Masuk kelas yuk, bentar lagi ada
jam Indonesia nih, ajak Tasya.
“Ayo, ucapku.”
Aku dan Tasya berjalan menuju
kelas yang lumayan agak jauh dari tempat kami duduk tadi.
Di kelas, aku mendengar anak-anak
yang sedang membicarakan mahasiswa baru yang pindahan dari lampung. Aku segera
menanyakan tentang semua kejelasan itu. Dan ternyata benar apa yang kudengar
tadi. Deg, mendadak aku terdiam setelah mendengar semuanya. Dari Lampung?
Ingatanku memutar pada sosok di masa laluku. Sahabat kecilku. Mungkinkah dia?
Aku langsung menceritakan semua
ini kepada Tasya yang sejak tadi asyik membaca bukunya.
Setelah aku menyelesaikan jam
kuliahku, aku pergi ke perpustakaan untuk mencari bahan buku untuk
menyelesaikan tugas kuliahku. Aku terus mencari dan mencarinya. Akhirnya aku
menemukan buku itu. Ketika aku ingin mengambilnya, tiba-tiba secara bersamaan seseorang
merebut buku itu. Aku langsung berbalik badan, dan serontak aku merasa kaget
ketika aku melihat seseorang yang berada di hadapanku.
“Rino,,,,” ucapku.
“Reva,,, kamu kuliah disini ”
ujar Rino.
“Ya. Kamu dateng kapan Rino? kok
nggak bilang-bilang sama aku sih, kamu dah lupa ya sama aku,,! Ucapku.
“Bukannya aku lupa ma kamu Reva, awalnya nanti siang aku pengen ke rumah kamu
dan kasih kamu surprise, tapi,,, kita ketemu disini” ucap Rino.
“Ya udahlah gak usah dibahas,
lagian kamu udah ada dihadapaku, dan dalam keadaan sehat” ucapku pada Rino.
Sebulan sudah Rino kuliah
denganku. Aku telah menemukan kembali sahabat yang 3 tahun telah menghilang.
Aku telah merasa senang bisa bersama dengannya lagi. Canda, tawa, kita lalui
bersama. Aku tidak ingin lagi berpisah dari Rino.
Tak terasa malam semakin larut,
hanya detak jam dan semilir angin yang menemani malamku. Tak terasa jam sudah
menunjukan pukul 24.00 malam, aku masih belum bisa memejamkan mata. Kuraih
laptop yang berada di meja belajarku, dan membukanya secara perlahan. Aku
langsung mengetik beberapa yang sekarang berada dalam benakku.
Hitam diatas putih menyelimuti perasaanku yang ada
Entah kini apa yang terjadi padaku
Apakah aku sedang patah hati?
Ataukah aku sedang jatuh hati?
Jika aku patah hati, oleh siapa hati ini telah disakiti ?
Jika aku jatuh hati, oleh siapa hati ini dicuri ?
Aku mengadu pada sang pengasih
yang penuh dengan bela kasih
yang kasihnya tak pernah pilih kasih
Lemas semua raga ini ketika aku terbangun dari tidur, aku
menyambut pagi dengan tidak penuh gairah. Aku memaksakan untuk pergi ke kampus,
karena aku ada janji dengan dosen kampusku. Ku langkahkan kaki menuju ruangan
dosen, entah apa yang sedang aku rasakan sekarang, tiba-tiba aku tak sadarkan
diri.
“Reva?” ulang Rino, berkali-kali memanggilku.
Sejam berlalu. Aku tak kunjung
sadarkan diri. Rino langsung membawanya ke rumah sakit. Entah kenapa Rino menawarkan
diri untuk menungguiku. Seperti ada perasaan yang berbeda setiap Rino melihatku.
Rino khawatir ketika aku tak kunjung
sadar. Tidak lama kemudian aku sadarkan diri.
“Rino, aku ada dimana?” ucapku.
“Tadi kamu pingsan Reva, udah
satu jam kamu nggak sadarkan diri, makannya aku bawa kamu ke rumah sakit” ujar
Rino.
“Aku pengen pulang Rino, aku cuma
kecapean doang, makannya aku kaya gini” ucapku.
“Bener kamu nggak apa-apa” ujar
Rino.
“Ya Rino aku nggak apa-apa” ucapku
pada Rino.
Beberapa jam kemudian, akhirnya
aku sampai di rumah. Akupun berterimakasih kepada Rino yang sudah membawa dan
menemaniku di rumah sakit.
Keadaanku semakin hari semakin
membaik, akupun sudah siap untuk pergi ke kampus. Setelah selesai sarapan,
tiba-tiba Rino menjemputku dan akupun segera bergegas menghampirinya dan pergi
bersamanya.
Aku merasa senang bisa terus
bersama Rino. Setelah selesai kuliah Rino mengajakku untuk pergi ke suatu
tempat yang belum pernah aku ketahui.
Rino meraih tanganku seraya
berkata dengan suara yang pelan dan terdengar serius.
“Terima kasih telah menjadi
temanku” ucapnya dengan halus, aku mengira bahwa ia akan mengungkapkan sesuatu
yang selama ini aku tunggu, aku tenggelam dalam lamunan, hingga akhirnya suara
indah mengaburkan lamunanku.
“Bisakah kita menjadi teman
hidup?”
“Maksudmu?”
“Aku mencintaimu, dulu, sekarang
dan nanti Reva. Bahkan sejak aku pergi, aku selalu tersiksa memiliki rindu atas
namamu, hingga ketika kita di pertemukan disini, saat ini, aku ingin
mengungkapkan segala yang telah ku tanam di dasar hati, dan aku takan bisa lagi
kehilanganmu Reva.”
Aku tak menyangka Rino mempunyai
perasaan yang sama sepertiku. Dia mengungkapkan semua yang ada dalam benaknya.
Aku tak bisa lagi membendung air mataku, aku menangis sambil mengangguk, ia
tersenyum dan menghanyutkanku dalam peluknya.
THE END
***
Eva Silviana Nur
Haedar