Friday, March 14, 2014

Cerpen Kekasih Hati

Pergi untuk kembali

Awan yang begitu bersahabat, membuat pagi datang dengan begitu cerahnya. Aku duduk di taman yang berada di sekitar kompleksku sambil menatap langit yang tidak pernah membuatku bosan. Tiba-tiba Reva datang membuat lamunanku buyar. Awalnya kami hanya diam sambil bersama-sama menatap langit, lama-kelamaan aku mulai berbincang-bincang dengan Tasya.
“Reva, kamu tau gak Rino mau pindah?” pertanyaan Tasya spontan membuatku kaget.
“Nggak lucu tau bercandamu,” kataku.
“Serius , dia mau pindah ke Lampung. Aku aja baru tau dari Rendi tadi. Katanya lusa dia berangkat,” Tasya mencoba meyakinkanku.
‘Kok dia nggak cerita sama aku yah?’ Tanyaku pada diri sendiri.
“Thanks ya Sya infonya, aku mau ke rumah Rino dulu.” Aku kemudian bergegas pergi dengan mengayuh kencang sepedaku  ke salah satu sudut di kompleks perumahan itu. Tujuanku cuman satu, menanyakan kebenaran kepada Rino.
Aku dan Rino sudah kenal dekat sejak kecil. Kemanapun kami selalu bersama. Bisa dibilang kami tak bisa terpisahkan. Dimana ada Rino di situ juga ada aku, begitu pun sebaliknya. Rino selalu melindungiku, dimana pun aku berada. Rino tidak ingin anak kompleks melukaiku. Bahkan orang tuaku dan orang tua Rino sangat senang dengan keakraban kami. Setelah ada Rino, ibuku selalu menganggap bahwa dia adalah bagian dari keluarga kami, sebagai kakakku tentunya.
“Rinoo,” panggilku.
Aku langsung masuk ke rumah Rino tanpa permisi. Yaa, ini sudah seperti rumah keduaku. Orang tua Rino juga sudah kuanggap seperti orang tuaku sendiri.
“Kenapa Reva?” kudengar suara dari belakang rumahnya. Kualihkan tujuanku ke taman di belakang rumah Rino.
“Rino, apa yang kamu sembunyiin dari ku?” tanpa basa-basi aku langsung bertanya padanya.
“Sembunyiin apa sih Reva? Aku nggak sembunyiin apa-apa,” terlihat ekspresi Rino mulai berubah.
“Kamu mau pindah kan? Iya kan? Kenapa kamu nggak mau ngomong ke aku sih Rino?”
“Maaf Reva,”. Perlahan mataku sudah mulai memerah, dan perlahan air mataku sudah mulai berjatuhan dan mengaliri wajahku. 
Rino berjalan menghampiriku dan duduk di sampingku. Rino mengusap air mata yang mengalir di pelupuk mataku. Aku tak ingin melihat Rino sedih. Lalu aku langsung berhenti menangis  dan tak ingin melukai perasaannya.
“Maaf, aku gak bermaksud membuatmu menangis, aku tak ingin membuatmu sedih Reva. Aku nggak bermaksud bohongin kamu, aku cuman takut aku nggak bisa ninggalin kamu.”
“Tapi Rino. Aku bakal jauh lebih sedih kalau disaat terakhir sahabat di samping aku, aku tidak mengetahuinya.”
Terlihat awan mendung mulai menyelimuti langit. Titik demi titik air mulai berjatuhan membasahi bumi. Semakin deras. Aku tak ingin masuk kedalam rumah, walau hujan mulai mengguyur taman di rumah Rino.
“Ujan Reva, masuk yuk, ujar Rino.”
“Nggak mau ah Rino, udah lama kita nggak ujan-ujanan. Aku pengen ngelewatin hujan ini bareng kamu. Belum tentukan kita bisa bareng kayak gini lagi?”
“Ya udah aku temenin.”
Kami mulai berlari menerjang hujan. Bermain-main bersama percikan hujan. Aku dan Rino begitu senang  dan tertawa tanpa beban, ‘Yaa, kita sama-sama menyukai hujan. Mencintai setiap butir yang terlahir dari awan mendung.
***
Pukul 07.00 aku telah duduk didepan rumah Rino. Tidak lama kemudian, Rino pun keluar dari rumahnya dan ikut duduk disampingku. Hari ini saatnya aku dan dia berpisah. Aku tak ingin melewatkan waktu berharga dengan sahabatku.
Aku ingin mengajak Rino pergi ke sebuah taman yang berada di sekitar kompleks, yang tak jauh dari rumahnya.
 “Okee, ayo kita pergi,” Aku berlari meninggalkan Rino.
Rino pun tak ingin kalah denganku, lalu ia menyusulku berlari.
Setelah tiba di taman aku dan Rino duduk di atas bangku taman. Kita sama-sama terdiam. Masih dengan lamunan masing-masing. Lalu kami mulai bercerita tentang masa lalu kami yang sangat indah untuk dikenang.
Aku terdiam. Tanpa sadar butiran halus muncul perlahan di pelupuk mataku.
“Kamu nggak apa-apa kan Reva?” Tanya Rino.
“Rino, tetep inget aku yaa,” ucapku.
“Pasti lah. Aku bakal tetep inget sama kamu, sahabat sejatiku,”
Rino memberikanku kotak mungil yang sejak tadi digenggamnya.
“Nih, aku punya kenang-kenangan buat kamu, agar kamu selalu inget sama aku, ujar Rino.”
“Gelang??” tanya aku heran, setelah  membuka hadiah dari Rino.
“Iya, ini sepasang. Pasangannya ada di aku. Biar kita yakin kalo suatu saat nanti kita bakal ketemu lagi. Aku pakein ya?” ucap Rino. Reva mengangguk.
“Aku akan selalu merindukanmu Rino,” Reva menunduk sedih.
“Aku juga Reva. Jaga diri baik-baik yah Reva.”
Hari sudah mulai sudah menunjukan pukul 10.00, akan tetapi suasana masih seperti pagi. Awan mendung menyelimuti langit, sama seperti hatiku yang kian mendung.
Air mata langit telah turun, aku dan Rino pun segera pulang menerjang derasnya hujan. Aku takut orangtua Rino mencemaskan kami berdua.
Diiringi dengan hujan, perpisahan pun telah terjadi. Rino telah pergi meninggalkan aku dan semua tentang kita.
“Aku pasti akan kembali lagii, tungguin aku yah..” teriak Rino dari dalam mobil yang sudah melaju jauh. Aku hanya tersenyum. Raganya kini tak lagi bersamaku. Aku dan dia kini telah terpisah.
Langit pun masih ikut bersedih akan kepergian Rino, sehingga awan hitam masih terus muncul membuat sang matahari tak menampakkan sinarnya. Aku masih duduk melamun di halaman rumahku. Membiarkan hujan mengguyur ragaku.
“Reva ayo masuk, mau sampai kapan kamu di sini?” Suara di belakang mengagetkanku.
“Mah, Reva nggak bisa pisah dari Rino.”
“Udah nak, kalo Tuhan menakdirkan kalian bertemu, kalian pasti bertemu lagi. Ayo masuk, kamu udah basah kuyup tuh.”
“Iya mah”.
Aku langsung masuk kedalam rumah setelah mamah memanggilku. Aku langsung membereskan diri dan pergi ke kamar untuk menghubungi Rino. Kuraih handphone yang berada di atas pembaringanku.
“Kamu dah nyampe Rino??”
Sent! Sms balasan segera masuk, pendek dan singkat.
“Udah.”
“Semoga kamu baik-baik disana.”
Sent! Sms balasanpun segera masuk. Akupun segera meraih handphoneku dan membacanya.
“Kamu juga ya, Reva.”
***

Setahun sudah kepergian Rino, rasanya telah sama sekali aku tidak mejumpainya, walaupun aku sering berkomunikasi dengannya, tapi aku masih terus memikirkannya.
Kubuka laptop yang berada di tempat tidurku dan kubuka foto-fotoku ketika aku bersama Rino. Dan kubuka Microsoft word untuk mengungkapkan semua yang berada dihatiku.

Entah kenapa engkau selalu berada dalam pikiranku
Hati ini gelisah saat memikirkanmu
Aku tak bisa terus berada dalam keadaan seperti ini
Aku tak bisa memendam kerinduanku
Aku tak bisa memungkiri semua perasaan ini
Engkau adalah bintang yang menerangi jiwa ini
Namun bintang itu jauh, jauh sekali
Tak bisa diraih, tak terjangkau oleh jarak
Kini, bintang itu menghilang
Tak dapat rasanya mata ini menangkap sinarnya
Tapi walaupun engkau jauh entah dimana
Tapi engkau selalu ada
Dalam hati yang terdalam
***

3 tahun berlalu. Kini aku sedang mengejar pendidikan di university. Aku telah tumbuh menjadi seorang gadis yang mandiri. Tapi aku tidak terlalu sama seperti teman-temanku yang selalu tampil dengan gaya dan tren masa kini, aku tetap nyaman dengan apa yang ada pada diriku.
Halaman kampus telah ramai dipenuhi oleh para mahasiswa dan mahasiswi yang berlalu lalang dan sedang asyik berbincang-bincang. Aku mencari Tasya, teman sekompleksku. Setelah menemukannya, aku segera menghampiri Tasya yang sedang duduk sendirian.  
“Pagi Sya..”
“Sendirian aja, Ucapku.”
“Kemana aja kamu? Jam segini baru dateng, Ujar Tasya.”
“Tadi jalananya macet, makannya aku telat.”
“Masuk kelas yuk, bentar lagi ada jam Indonesia nih, ajak Tasya.
“Ayo, ucapku.”
Aku dan Tasya berjalan menuju kelas yang lumayan agak jauh dari tempat kami duduk tadi.
Di kelas, aku mendengar anak-anak yang sedang membicarakan mahasiswa baru yang pindahan dari lampung. Aku segera menanyakan tentang semua kejelasan itu. Dan ternyata benar apa yang kudengar tadi. Deg, mendadak aku terdiam setelah mendengar semuanya.  Dari Lampung? Ingatanku memutar pada sosok di masa laluku. Sahabat kecilku. Mungkinkah dia?
Aku langsung menceritakan semua ini kepada Tasya yang sejak tadi asyik membaca bukunya.
Setelah aku menyelesaikan jam kuliahku, aku pergi ke perpustakaan untuk mencari bahan buku untuk menyelesaikan tugas kuliahku. Aku terus mencari dan mencarinya. Akhirnya aku menemukan buku itu. Ketika aku ingin mengambilnya, tiba-tiba secara bersamaan seseorang merebut buku itu. Aku langsung berbalik badan, dan serontak aku merasa kaget ketika aku melihat seseorang yang berada di hadapanku.
“Rino,,,,” ucapku.
“Reva,,, kamu kuliah disini ” ujar Rino.
“Ya. Kamu dateng kapan Rino? kok nggak bilang-bilang sama aku sih, kamu dah lupa ya sama aku,,! Ucapku.
“Bukannya aku lupa ma kamu Reva,  awalnya nanti siang aku pengen ke rumah kamu dan kasih kamu surprise, tapi,,, kita ketemu disini” ucap Rino.
“Ya udahlah gak usah dibahas, lagian kamu udah ada dihadapaku, dan dalam keadaan sehat” ucapku pada Rino.
Sebulan sudah Rino kuliah denganku. Aku telah menemukan kembali sahabat yang 3 tahun telah menghilang. Aku telah merasa senang bisa bersama dengannya lagi. Canda, tawa, kita lalui bersama. Aku tidak ingin lagi berpisah dari Rino.
Tak terasa malam semakin larut, hanya detak jam dan semilir angin yang menemani malamku. Tak terasa jam sudah menunjukan pukul 24.00 malam, aku masih belum bisa memejamkan mata. Kuraih laptop yang berada di meja belajarku, dan membukanya secara perlahan. Aku langsung mengetik beberapa yang sekarang berada dalam benakku.

Hitam diatas putih menyelimuti perasaanku yang ada
Entah kini apa yang terjadi padaku
Apakah aku sedang patah hati?
Ataukah aku sedang jatuh hati?
Jika aku patah hati, oleh siapa hati ini telah disakiti ?
Jika aku jatuh hati, oleh siapa hati ini dicuri ?
Aku mengadu pada sang pengasih
yang penuh dengan bela kasih
yang kasihnya tak pernah pilih kasih

Lemas semua raga ini ketika aku terbangun dari tidur, aku menyambut pagi dengan tidak penuh gairah. Aku memaksakan untuk pergi ke kampus, karena aku ada janji dengan dosen kampusku. Ku langkahkan kaki menuju ruangan dosen, entah apa yang sedang aku rasakan sekarang, tiba-tiba aku tak sadarkan diri.
“Reva?” ulang Rino, berkali-kali memanggilku.
Sejam berlalu. Aku tak kunjung sadarkan diri. Rino langsung membawanya ke rumah sakit. Entah kenapa Rino menawarkan diri untuk menungguiku. Seperti ada perasaan yang berbeda setiap Rino melihatku. Rino  khawatir ketika aku tak kunjung sadar. Tidak lama kemudian aku sadarkan diri.
“Rino, aku ada dimana?” ucapku.
“Tadi kamu pingsan Reva, udah satu jam kamu nggak sadarkan diri, makannya aku bawa kamu ke rumah sakit” ujar Rino.
“Aku pengen pulang Rino, aku cuma kecapean doang, makannya aku kaya gini” ucapku.
“Bener kamu nggak apa-apa” ujar Rino.
“Ya Rino aku nggak apa-apa” ucapku pada Rino.
Beberapa jam kemudian, akhirnya aku sampai di rumah. Akupun berterimakasih kepada Rino yang sudah membawa dan menemaniku di rumah sakit.
Keadaanku semakin hari semakin membaik, akupun sudah siap untuk pergi ke kampus. Setelah selesai sarapan, tiba-tiba Rino menjemputku dan akupun segera bergegas menghampirinya dan pergi bersamanya.
Aku merasa senang bisa terus bersama Rino. Setelah selesai kuliah Rino mengajakku untuk pergi ke suatu tempat yang belum pernah aku ketahui.
Rino meraih tanganku seraya berkata dengan suara yang pelan dan terdengar serius.
“Terima kasih telah menjadi temanku” ucapnya dengan halus, aku mengira bahwa ia akan mengungkapkan sesuatu yang selama ini aku tunggu, aku tenggelam dalam lamunan, hingga akhirnya suara indah mengaburkan lamunanku.
“Bisakah kita menjadi teman hidup?”
“Maksudmu?”
“Aku mencintaimu, dulu, sekarang dan nanti Reva. Bahkan sejak aku pergi, aku selalu tersiksa memiliki rindu atas namamu, hingga ketika kita di pertemukan disini, saat ini, aku ingin mengungkapkan segala yang telah ku tanam di dasar hati, dan aku takan bisa lagi kehilanganmu Reva.”
Aku tak menyangka Rino mempunyai perasaan yang sama sepertiku. Dia mengungkapkan semua yang ada dalam benaknya. Aku tak bisa lagi membendung air mataku, aku menangis sambil mengangguk, ia tersenyum dan menghanyutkanku dalam peluknya.


 THE END
***

Eva Silviana Nur Haedar